Masih Anyar, Aceng Syamsul Hadie: Menolak Bantuan Internasional, Negara Sedang Mengkhianati Rakyatnya - PINMAS

Sabtu, 20 Desember 2025

Masih Anyar, Aceng Syamsul Hadie: Menolak Bantuan Internasional, Negara Sedang Mengkhianati Rakyatnya




jakarta& Pemerhati : Ketika bencana besar melanda Sumatera dan pemerintah daerah kewalahan, keputusan Presiden Prabowo Subianto menolak bantuan internasional bukan lagi dapat dibaca sebagai kebijakan teknokratis. Ia telah berubah menjadi keputusan politik yang mempertaruhkan nyawa rakyat.


Keputusan penolakan tersebut mendapat kritikan tajam dari berbagai tokoh dan politisi, Aceng Syamsul Hadie pun turut angkat bicara.



"Menolak bantuan Internasional artinya Negara sedang mengkhianati rakyatnya", ungkap Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM selaku Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional).


Aceng merasa prihatin, di tengah korban yang terus berjatuhan, pengungsi yang kekurangan pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan hunian layak, pemerintah pusat justru mengedepankan narasi kedaulatan dan kemampuan nasional. Narasi ini terdengar gagah di podium, tetapi runtuh di lapangan. Fakta berbicara jujur: daerah tidak mampu, relawan kewalahan, logistik terbatas, dan pemulihan berjalan lambat.


Aceng menjelaskan bahwa dalam negara demokrasi konstitusional, tidak ada legitimasi kekuasaan yang lebih tinggi daripada keselamatan rakyat. Pasal 28A UUD 1945 menjamin hak hidup setiap warga negara, dan Pasal 34 mewajibkan negara memelihara fakir miskin serta korban bencana. Menolak bantuan kemanusiaan ketika kapasitas nasional tidak mencukupi adalah pelanggaran moral terhadap konstitusi, dan berpotensi menjadi kelalaian negara yang disengaja (deliberate negligence).


"Alasan Indonesia mampu menangani sendiri, patut diuji secara terbuka. Jika negara memang mampu, tunjukkan datanya: berapa stok logistik nasional, berapa alat berat yang siap di lokasi, berapa tenaga medis yang bekerja di zona terdampak, dan berapa anggaran darurat yang telah tersalurkan. Tanpa transparansi, klaim kemampuan nasional hanyalah retorika kekuasaan yang menutup kegagalan manajemen krisis", sindirnya.


Aceng mempertanyakan lebih serius lagi, penolakan bantuan internasional di tengah krisis menimbulkan pertanyaan politik yang sah: apa yang sebenarnya sedang dilindungi negara? Apakah rakyat yang menjadi korban, atau narasi pembangunan yang selama ini menutup mata terhadap kerusakan ekologis di Sumatera? Deforestasi, pertambangan, dan ekspansi perkebunan besar telah lama diperingatkan sebagai bom waktu bencana. Ketika bencana itu akhirnya meledak, negara justru defensif, tertutup, dan alergi terhadap pengawasan internasional.


"Dalam literatur politik dan ekologi, bencana seperti ini bukan semata bencana alam, melainkan bencana struktural—produk kebijakan negara yang gagal mengelola ruang hidup rakyat. Maka penolakan bantuan internasional bukan hanya soal logistik, tetapi juga upaya mempertahankan narasi bahwa negara baik-baik saja, padahal realitasnya sebaliknya", tambahnya.


Aceng pun mengingatkan, Presiden Prabowo harus menyadari satu hal penting: nasionalisme tidak diukur dari kerasnya penolakan bantuan asing, tetapi dari keberanian mengakui keterbatasan demi menyelamatkan nyawa rakyat. Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya menerima bantuan internasional saat bencana besar melampaui kapasitas mereka. Tidak satu pun kehilangan kedaulatannya. Yang kehilangan kedaulatan justru negara yang membiarkan rakyatnya mati demi menjaga gengsi politik.


"Jika pemerintah tetap menutup pintu bantuan, maka DPR wajib menjalankan fungsi pengawasan secara serius. Komnas HAM dan lembaga negara independen juga harus turun tangan, karena dalam kondisi ekstrem, penolakan bantuan dapat dikategorikan sebagai pengabaian hak asasi manusia", tegasnya.


Aceng meyakinkan bahwa rakyat tidak membutuhkan negara yang terlihat kuat di televisi. Rakyat membutuhkan negara yang hadir di tenda pengungsian, di dapur umum, dan di rumah-rumah yang hancur. Kekuasaan yang kehilangan empati tidak layak dibela atas nama nasionalisme.


"Sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling keras menolak bantuan. Sejarah akan mencatat siapa yang membiarkan rakyatnya menderita ketika pertolongan tersedia, tetapi ditolak atas nama politik. Dan pada titik itu, penolakan bantuan bukan lagi kesalahan kebijakan—melainkan pengkhianatan terhadap mandat rakyat", pungkasnya. ( SITI Y)



Comments


EmoticonEmoticon

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done